Lagi rame di facebook soal meme mertua dan menantu.
Gambar-gambar kartun yang menurut sebagian orang menggambarkan hubungan mertua
dan menantu, dan membandingkannya dengan hubungan anak perempuan dengan ibu
kandung mereka. Miris memang, padahal kalau dipikir baik-baik, tidak akan ada
suami kita kalau nggak ada mertua. Betul kan? Kecuali kalo suaminya dilahirin
sama batu yang merekah alias meletek seko watu. Hahaha
Parahnya lagi, caption yang ditulis di atas post meme itu loh, yang bikin geleng-geleng kepala. Segitunya ya, bencinya sama mertua, sampai membandingkan ibu mertua dengan ibu kandung. Emang beda, ya? Ya, beda lah... Tapi kan nggak perlu gitu banget dong, ah... Kan, ibu mertua adalah ibu dari suami kita, belahan jiwa kita. Kalau nggak ada beliau ya nggak mungkin ada suami. Jadi ya kalau sudah menyatu dengan suami, ibu mertua ya sama saja dengan ibu kita sendiri. Sama saja bobot restu dan kutuknya. Kalau ketahuan posting meme seperti itu, apa nggak takut dikutuk jadi Syahrini? Hihihi ^_^
salah satu meme mertua dan ibu kandung yang jadi viral |
Yah… Tak bisa dipungkiri, memang, banyak sekali
kisah abu-abu bahkan hitam dalam hubungan mertua vs menantu. Sampai ada yang
beristilah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih ibu mertua sepanjang kita nurut,”
duhhh.... Ga bisa dibiarkan ah... Padahal mestinya, ikut istilah lain: “Ibumu,
Ibuku. Ibuku, Ibumu.” Bukankah memang menikah itu tak hanya menyatukan dua
hati, tapi dua keluarga. Jadi mestinya nggak Cuma sayang suami, tapi
juga sayang mertua.
Dalam konflik mertua vs menantu perempuan, pada dasarnya
kedua belah pihak memperjuangkan hati yang sama, yakni hati sang anak lelaki yang
menjadi suami orang yang baru dikenal sang ibu. Kedua belah pihak sama-sama
memiliki idealisme sendiri-sendiri yang juga diperjuangkan untuk bisa diterima
oleh pihak yang lain. Kedua belah pihak sama-sama takut cintanya “direbut” oleh
pihak yang lain, sang ibu takut dilupakan, sang istri takut dinomor duakan. Di sinilah kemudian battle
of conquering terjadi, peperangan untuk saling menaklukkan. Kadang
menggunakan cara-cara yang ekstrim dan beradu kelicikan. Naudzubillahi min
dzalik.
Sebenarnya sih, bila ada
usaha untuk saling memahami dan memaklumi dari kedua belah pihak, konflik bisa
diminimalisir. Sumber konflik tak bisa dibebankan pada salah satu
pihak saja kan? Benar bahwa seringkali kita, para menantu mengklaim diri kita
sudah bersikap semestinya dan sebenarnya. Masalahnya adalah, benar menurut
siapa? Yang sudah benar buat kita belum tentu tepat buat ibu mertua. Karena
orang punya standar berbeda-beda kaaaannn? Setiap ibu menginginkan anak
lelakinya diperlakukan sama seperti ia memperlakukan anak lelakinya. Alhasil,
banyak ibu mertua menyalahkan cara menantu
perempuan memperlakukan anak lelakinya. Sama
dengan konflik antara ayah mertua-menantu lelaki. Bedanya, lelaki lebih mudah
memaklumi dari perempuan. Dan lagi, tingkat “kenyinyiran” lelaki
sangat rendah, jadi konflik lebih mudah dihindari.
Saya sih, ngenger
sama mertua agak lama. Sudah seperti orang tua sendiri (ya memang sudah jadi
orang tua sendiri. Hihihi). Awalnya, tentu harus banyak adaptasi, kan katanya,
salah satu ciri makhluk hidup itu, bisa beradaptasi dengan lingkungan. Jadi
kalau tidak bisa beradaptasi dengan keluarga mertua, perlu diragukan ke-makhluk
hidup-annya. Hehehe. (Disambit keyboard).
Banyak hal yang berbeda dari saya dan mertua, beberapa
hal tentang prinsip pun berbeda, walaupun agama kami sama. Namun, dari hasil
belajar sana-sini, saya jadi tahu jurus-jurus jitu mengambil hati mertua.
(Beuh… Sotoy kambuhan). Berikut ini beberapa jurus ajian pengasihan yang saya
kompilasikan dari berbagai sumber dan bisa kita terapkan untuk jadi menantu
manis dan baik budi. ^_^
1.
Pelajari Karakter
Mempelajari karakter untuk “menaklukkan” hati mertua sangatlah
penting. Ketika menikah dan harus tinggal satu rumah dengan mertua, jangan
pernah bosan untuk terus belajar memahami karakter mertua, agar kita, para menantu,
lebih mudah menempatkan diri didalam keluarga mereka. Kenali apa yang mereka
sukai dan tidak mereka sukai. Asal tidak melanggar syariat dan masih dalam
batas kewajaran, tak ada salahnya kita menyesuaikan diri untuk tidak melakukan
apa yang mereka tidak suka.
Dan bila ternyata hal itu melanggar syariat dan berada di luar kewajaran, misalnya mertua suka pergi ke dukun, atau mertua kita
terlalu jorok dan hobi membuang sampah sembarangan. Berikan pemahaman dengan
halus dan pada momen-momen yang tepat agar tidak menyinggung perasaan mereka.
Karena bagaimanapun, mereka adalah orang tua kita yang satu kata “ah” saja
keluar dari bibir kita, atau setitik luka kita goreskan dalam hati mereka, akan
menjadi dosa bagi kita. Apalagi kalau sampai mereka mengutuk kita,
bisa runuh dunia di atas kepala kita.
2.
Curi Hati Mertua dan Suami
Yang kedua, pandai-pandailah mencuri hati mertua dan suami dalam
waktu bersamaan. Hadiah-hadiah dan kejutan-kejutan kecil namun berkesan, tentu
akan menjadi hal yang turut mempermanis hubungan dalam suatu keluarga. Hadiah
tak perlu berupa barang. Bisa terwujud lewat masakan yang mereka sukai, atau
bahkan hanya dengan merombak desain interior rumah sesuai dengan selera mereka.
Dan kejutan tak perlu menunggu momen spesial. Segala kesempatan bisa disulap
menjadi spesial, asalkan waktu dan tempatnya tepat. Jangan sampai timpang
memberi apa yang suami suka namun melupakan apa yang mertua suka, atau
sebaliknya. Karena keduanya sama-sama penting. Suami adalah belahan jiwa,
sedangkan mertua adalah pengukir belahan jiwa kita. Ibarat kita menyayangi
sebuah boneka, maka tak boleh melupakan sang pemberi boneka tersebut. Keduanya
harus sama-sama dieman, disayangi,
dan dimuliakan.
3.
“Jodohkan” Orang Tua dan Mertua
Konflik lain yang rentan terjadi adalah antara mertua dan kedua
orang tua sang menantu. Perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, agama,
budaya, sering kali memperburuk hubungan antara mertua dengan menantu. Maka,
tak kalah pentingnya menyulap diri kita sebagai menantu menjadi sebuah “jembatan
penghubung” antara kedua orang tua dan mertua. Karena seperti yang telah
disebutkan di atas, pernikahan bukan hanya perjodohan dua hati, melainkan dua
keluarga. Pandai-pandailah menyatukan perbedaan dan memberikan pemahaman kepada
orang tua kita untuk menghargai perbedaan mertua dengan mereka, dengan bahasa yang tidak menyinggung, tentunya. Dan, bagaimana
bila tak bisa? Bila kedua orang tua dan mertua sama-sama bersikukuh, maka
kembali lagi menjadi tugas kita sebagai anak dan menantu untuk menjadi
“jembatan penghubung” dua latar belakang yang berbeda agar mereka juga
“berjodoh”, bukan hanya kita dan suami saja.
4.
Luaskan Kemakluman
Sebagai anak, satu hal yang perlu kita lakukan untuk meminimalisir
konflik adalah melapangkan dada dan meluaskan kemakluman kita terhadap mertua.
Terkadang, ada hal-hal tertentu yang menjadi kebiasaan mertua yang tak sesuai
dengan harapan kita. Di sinilah perlunya kita melapangkan dada dan meluaskan
kemakluman terhadap mereka. Kembali lagi, tentunya, selama hal-hal tersebut
tidak melanggar syariat. Dan bila ternyata bertentangan dengan syariat? Tenang,
wahai para menantu. Segala sesuatu butuh proses. Bahkan Rasulullah pun
membutuhkan waktu 23 tahun untuk menuntaskan dakwah dan menyempurnakan Islam
pada masanya. Maka bersabarlah, lapangkan dada dan luaskan kemakluman kita pada
mereka. Insyaallah, semua akan lebih mudah teratasi.
5.
Berdoa dan Teruslah Berusaha
Yang terakhir, jangan lupa, berdoa dan teruslah berusaha untuk
mencuri hati mertua. Jadikan mereka subyek dari doa-doa khusus kita di
sepertiga malam terakhir, dan jangan pernah lelah berusaha untuk “menaklukkan”
hati mereka. Insyaallah, dengan ridha Allah maka “Vini, Vidi, Vici”. Semoga
sukses menaklukkan hati para mertua dan menjadi keluarga yang sakinah,
mawaddah, rahmah dan dakwah.
Nah, selamat
berjuang, ya, para menantu. Semoga surga menjadi milikmu. Saya juga terus berusaha jadi lebih baik. Karena ibu sudah tidak ada, maka cadangan kunci surga saya sekarang dipegang ibu mertua. ^_^