Kamis, 25 Februari 2016

Surga di Telapak Kaki Ibu Mertua



Lagi rame di facebook soal meme mertua dan menantu. Gambar-gambar kartun yang menurut sebagian orang menggambarkan hubungan mertua dan menantu, dan membandingkannya dengan hubungan anak perempuan dengan ibu kandung mereka. Miris memang, padahal kalau dipikir baik-baik, tidak akan ada suami kita kalau nggak ada mertua. Betul kan? Kecuali kalo suaminya dilahirin sama batu yang merekah alias meletek seko watu. Hahaha
Parahnya lagi, caption yang ditulis di atas post meme itu loh, yang bikin geleng-geleng kepala. Segitunya ya, bencinya sama mertua, sampai membandingkan ibu mertua dengan ibu kandung. Emang beda, ya? Ya, beda lah... Tapi kan nggak perlu gitu banget dong, ah... Kan, ibu mertua adalah ibu dari suami kita, belahan jiwa kita. Kalau nggak ada beliau ya nggak mungkin ada suami. Jadi ya kalau sudah menyatu dengan suami, ibu mertua ya sama saja dengan ibu kita sendiri. Sama saja bobot restu dan kutuknya. Kalau ketahuan posting meme seperti itu, apa nggak takut dikutuk jadi Syahrini? Hihihi ^_^
salah satu meme mertua dan ibu kandung yang jadi viral

Yah… Tak bisa dipungkiri, memang, banyak sekali kisah abu-abu bahkan hitam dalam hubungan mertua vs menantu. Sampai ada yang beristilah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih ibu mertua sepanjang kita nurut,” duhhh.... Ga bisa dibiarkan ah... Padahal mestinya, ikut istilah lain: “Ibumu, Ibuku. Ibuku, Ibumu.” Bukankah memang menikah itu tak hanya menyatukan dua hati, tapi dua keluarga. Jadi mestinya nggak Cuma sayang suami, tapi juga sayang mertua.
Dalam konflik mertua vs menantu perempuan, pada dasarnya kedua belah pihak memperjuangkan hati yang sama, yakni hati sang anak lelaki yang menjadi suami orang yang baru dikenal sang ibu. Kedua belah pihak sama-sama memiliki idealisme sendiri-sendiri yang juga diperjuangkan untuk bisa diterima oleh pihak yang lain. Kedua belah pihak sama-sama takut cintanya “direbut” oleh pihak yang lain, sang ibu takut dilupakan, sang istri takut dinomor duakan. Di sinilah kemudian battle of conquering terjadi, peperangan untuk saling menaklukkan. Kadang menggunakan cara-cara yang ekstrim dan beradu kelicikan. Naudzubillahi min dzalik.
Sebenarnya sih, bila ada usaha untuk saling memahami dan memaklumi dari kedua belah pihak, konflik bisa diminimalisir. Sumber konflik tak bisa dibebankan pada salah satu pihak saja kan? Benar bahwa seringkali kita, para menantu mengklaim diri kita sudah bersikap semestinya dan sebenarnya. Masalahnya adalah, benar menurut siapa? Yang sudah benar buat kita belum tentu tepat buat ibu mertua. Karena orang punya standar berbeda-beda kaaaannn? Setiap ibu menginginkan anak lelakinya diperlakukan sama seperti ia memperlakukan anak lelakinya. Alhasil, banyak ibu mertua menyalahkan cara menantu perempuan memperlakukan anak lelakinya. Sama dengan konflik antara ayah mertua-menantu lelaki. Bedanya, lelaki lebih mudah memaklumi dari perempuan. Dan lagi, tingkat “kenyinyiran” lelaki sangat rendah, jadi konflik lebih mudah dihindari.
Saya sih, ngenger sama mertua agak lama. Sudah seperti orang tua sendiri (ya memang sudah jadi orang tua sendiri. Hihihi). Awalnya, tentu harus banyak adaptasi, kan katanya, salah satu ciri makhluk hidup itu, bisa beradaptasi dengan lingkungan. Jadi kalau tidak bisa beradaptasi dengan keluarga mertua, perlu diragukan ke-makhluk hidup-annya. Hehehe. (Disambit keyboard).
Banyak hal yang berbeda dari saya dan mertua, beberapa hal tentang prinsip pun berbeda, walaupun agama kami sama. Namun, dari hasil belajar sana-sini, saya jadi tahu jurus-jurus jitu mengambil hati mertua. (Beuh… Sotoy kambuhan). Berikut ini beberapa jurus ajian pengasihan yang saya kompilasikan dari berbagai sumber dan bisa kita terapkan untuk jadi menantu manis dan baik budi.  ^_^

1.       Pelajari Karakter
Mempelajari karakter untuk “menaklukkan” hati mertua sangatlah penting. Ketika menikah dan harus tinggal satu rumah dengan mertua, jangan pernah bosan untuk terus belajar memahami karakter mertua, agar kita, para menantu, lebih mudah menempatkan diri didalam keluarga mereka. Kenali apa yang mereka sukai dan tidak mereka sukai. Asal tidak melanggar syariat dan masih dalam batas kewajaran, tak ada salahnya kita menyesuaikan diri untuk tidak melakukan apa yang mereka tidak suka.
Dan bila ternyata hal itu melanggar syariat dan berada di luar kewajaran, misalnya mertua suka pergi ke dukun, atau mertua kita terlalu jorok dan hobi membuang sampah sembarangan. Berikan pemahaman dengan halus dan pada momen-momen yang tepat agar tidak menyinggung perasaan mereka. Karena bagaimanapun, mereka adalah orang tua kita yang satu kata “ah” saja keluar dari bibir kita, atau setitik luka kita goreskan dalam hati mereka, akan menjadi dosa bagi kita. Apalagi kalau sampai mereka mengutuk kita, bisa runuh dunia di atas kepala kita.

2.       Curi Hati Mertua dan Suami
Yang kedua, pandai-pandailah mencuri hati mertua dan suami dalam waktu bersamaan. Hadiah-hadiah dan kejutan-kejutan kecil namun berkesan, tentu akan menjadi hal yang turut mempermanis hubungan dalam suatu keluarga. Hadiah tak perlu berupa barang. Bisa terwujud lewat masakan yang mereka sukai, atau bahkan hanya dengan merombak desain interior rumah sesuai dengan selera mereka. Dan kejutan tak perlu menunggu momen spesial. Segala kesempatan bisa disulap menjadi spesial, asalkan waktu dan tempatnya tepat. Jangan sampai timpang memberi apa yang suami suka namun melupakan apa yang mertua suka, atau sebaliknya. Karena keduanya sama-sama penting. Suami adalah belahan jiwa, sedangkan mertua adalah pengukir belahan jiwa kita. Ibarat kita menyayangi sebuah boneka, maka tak boleh melupakan sang pemberi boneka tersebut. Keduanya harus sama-sama dieman, disayangi, dan dimuliakan.

3.       “Jodohkan” Orang Tua dan Mertua
Konflik lain yang rentan terjadi adalah antara mertua dan kedua orang tua sang menantu. Perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, agama, budaya, sering kali memperburuk hubungan antara mertua dengan menantu. Maka, tak kalah pentingnya menyulap diri kita sebagai menantu menjadi sebuah “jembatan penghubung” antara kedua orang tua dan mertua. Karena seperti yang telah disebutkan di atas, pernikahan bukan hanya perjodohan dua hati, melainkan dua keluarga. Pandai-pandailah menyatukan perbedaan dan memberikan pemahaman kepada orang tua kita untuk menghargai perbedaan mertua dengan mereka, dengan bahasa yang tidak menyinggung, tentunya. Dan, bagaimana bila tak bisa? Bila kedua orang tua dan mertua sama-sama bersikukuh, maka kembali lagi menjadi tugas kita sebagai anak dan menantu untuk menjadi “jembatan penghubung” dua latar belakang yang berbeda agar mereka juga “berjodoh”, bukan hanya kita dan suami saja.

4.       Luaskan Kemakluman
Sebagai anak, satu hal yang perlu kita lakukan untuk meminimalisir konflik adalah melapangkan dada dan meluaskan kemakluman kita terhadap mertua. Terkadang, ada hal-hal tertentu yang menjadi kebiasaan mertua yang tak sesuai dengan harapan kita. Di sinilah perlunya kita melapangkan dada dan meluaskan kemakluman terhadap mereka. Kembali lagi, tentunya, selama hal-hal tersebut tidak melanggar syariat. Dan bila ternyata bertentangan dengan syariat? Tenang, wahai para menantu. Segala sesuatu butuh proses. Bahkan Rasulullah pun membutuhkan waktu 23 tahun untuk menuntaskan dakwah dan menyempurnakan Islam pada masanya. Maka bersabarlah, lapangkan dada dan luaskan kemakluman kita pada mereka. Insyaallah, semua akan lebih mudah teratasi.

5.       Berdoa dan Teruslah Berusaha
Yang terakhir, jangan lupa, berdoa dan teruslah berusaha untuk mencuri hati mertua. Jadikan mereka subyek dari doa-doa khusus kita di sepertiga malam terakhir, dan jangan pernah lelah berusaha untuk “menaklukkan” hati mereka. Insyaallah, dengan ridha Allah maka “Vini, Vidi, Vici”. Semoga sukses menaklukkan hati para mertua dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah dan dakwah. 
Nah, selamat berjuang, ya, para menantu. Semoga surga menjadi milikmu. Saya juga terus berusaha jadi lebih baik. Karena ibu sudah tidak ada, maka cadangan kunci surga saya sekarang dipegang ibu mertua. ^_^

Rabu, 24 Februari 2016

Hey, Bocah! Jangan Asal Panggil Namaku



Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Begitu pepatah mengatakan. Setiap bangsa punya budaya. Setiap suku punya adat istiadat. Begitu pula cara menyapa sesama. Masing-masing memiliki ciri khas yang jadi pembeda.
Di Jawa, orang memanggil orang lain sesuai dengan hubungan kekerabatan atau usia. Adik dari bapak dipanggil Paklik (Bapak Cilik), Bulik (Ibu Cilik), Paman, Bibi (diucapkan dengan bunyi ɪ, seperti kita mengucapkan kata Bulik, Paklik). Begitu pula dengan saudara dan kerabat yang lain, masing-masing punya panggilan sendiri-sendiri. Bahkan, tetangga atau kenalan pun dipanggil seperti kita memanggil kerabat. Bila mereka sedikit lebih tua, bisa dipanggil Mbak atau Mas. Bila jarak usia agak jauh, tetapi yang bersangkutan lebih muda dari orang tua kita, bisa dipanggil Paklik atau Bulik, dan sebaliknya, bila lebih tua dari orang tua kita bisa dipanggil dengan sebutan Pakdhe (Bapak Gedhe), Budhe (Ibu Gedhe), Pak Puh (Bapak Sepuh), atau Bu Puh (Ibu Sepuh). Bila seusia dengan Kakek-Nenek, biasanya dipangil Eyang atau Mbah. Memanggil nama secara langsung hanya berlaku bagi mereka yang seusia atau yang sudah sangat akrab satu sama lain.
Begitu pula di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, semua daerah di Indonesia memiliki budaya panggilan pada orang lain.
Tak hanya di Indonesia, kebanyakan Negara Asia pun punya “sebutan” untuk memanggil orang lain, terutama mereka yang lebih tua dan dihormati.  Di Jepang, orang menambahkan “San” di belakang nama seseorang untuk menunjukkan bahwa kita menghormatinya. Orang Jepang menyebut “Kun” pada anak lelaki atau teman lelaki seusia, dan “Chan” pada anak perempuan atau teman perempuan seumuran, untuk menunjukkan keakraban dengan yang bersangkutan. Di Korea, Cina, Thailand, juga begitu. Masing-masing orang punya panggilan khusus yang disebut sebelum maupun sesudah nama, untuk menunjukkan bahwa kita menghargai mereka.
Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Maka akan sangat aneh bila orang Indonesia, terutama orang Jawa, memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan nama saja. Bisa dianggap tidak sopan. Apalagi bila orang itu jauh lebih tua dan kedudukannya lebih tinggi. Contohnya, seorang karyawan menyebut nama atasannya tanpa embel-embel “Pak” atau “Bu” adalah sebuah tindakan kurang sopan. Sedangkan dalam bahasa Inggris saja, kita mengunakan sebutan Mr. dan Mrs., Sir atau Ma’am, pada orang yang strata jabatannya di atas kita.
Jangankan menyebut nama, Bahasa Indonesia saja memiliki kata ganti tersendiri untuk menyebut orang yang lebih tua, yaitu Anda sebagai kata ganti orang kedua, dan Beliau untuk ganti orang ketiga. Jangan sekali-kali menyebut “kamu” pada orang tua bila tak ingin dikutuk jadi ganteng. ^_^ Dan gunakanlah sebutan beliau ketika menyebut orang ketiga yang lebih tua.
Jangan remehkan panggilan yang kita gunakan untuk orang lain, siapapun dia. Bisa bahaya. Bisa-bisa Anda disambit sandal kalau salah panggil orang yang lebih tua. Resiko paling ringan, ya, ini. Dijadikan bahan tulisan kalau salah panggil saya. Hahaha ^_^ ^_^



Jangan Percaya Pada Penyair

Jangan mudah percaya
Bila seorang penyair berpuisi tentang cinta
Apalagi berbunga-bunga mempercayainya
Siapa tahu ia sedang bercerita
Tentang saudara, tetangga, mungkin juga sinetron atau berita gosip yang ditontonnya

Jangan mudah tertipu
Saat seorang penyair sedang menuliskan sajak sendu
Apalagi membawamu menangis tersedu
Siapa tahu ia sedang menuliskan kisah
Tentang sahabat, sejawat, bisa juga orang lewat

Kan kerja penyair memang
Menggugah rasa rindu dan sayang
Membuat bulu roma meremang
Atau air mata di pelupuk mata mereka yang jadi terkenang
Orang orang tersayang

Karena itu, saudaraku
Nikmatilah syairnya saat ia berlagu
Boleh kau ingat dalam kenangan
Namun ingat: jangan jadikan penilaian
Apalagi penghakiman

Karena puisi adalah misteri*
Maka segala interpretasi bisa terjadi
Asal jangan menjustifikasi
Kemudian membuat berita tak mengenakkan hati

Ingat saudaraku: jangan percaya pada penyair
Termasuk isi ini syair

28.08.2013>> 21:13
*dikutip dari pernyataan Umma Azura

After A Long Time

Dan...
Lama mimpi itu hanya dipeluk dalam lelap
Tak pelak harap masih meluap
Mendesak
Dada semakin sesak

Kata-kata menggunung di kepala
Jemari kebas tertindih frasa
Huruf-huruf berbaris mengular
Kalimat-kalimat berjajar

Aku rindu menulis...
:(