Sabtu, 29 Oktober 2016

Aogeba Toutoshi, With an Eternally Grateful Heart



Aogeba Totoshi (Song of Gratitude)

Aogeba toutoshi wagashi no on
How fast time flies, I cannot believe how quickly the moments have passed, and
how deeply indebted we feel to our teachers
(Betapa cepat waktu berlalu, aku tak percaya banyak hal telah terlewati dan kami sangat berhutang budi pada para guru kami)

Oshie no niwa ni mo hayaiku tose
The precious years have come and gone, too soon, here with you in our "garden of learning" 
(Tahun-tahun yang berharga datang dan pergi begitu cepat, bersamamu, di sini, dalam taman belajar kami)

Omoeba itotoshi kono toshi tsuki
We have learned from you the right way to do what must be done
(kami telah belajar darimu bagaimana melakukan segalanya dengan benar)

Imakoso wakareme, iza saraba.
And now is the time to say farewell with an eternally grateful heart.
(Dan kini tiba waktunya mengucapkan salam perpisahan dengan hati yang penuh terima kasih selamanya)

Tagai ni mutsu mishi higoro no on
How close and deep our ties have become
(Betapa dekat dan dalam ikatan kita telah terjalin)

Wakaruru nochinimo yayo, wasuruna
I will always remember your teaching and carry your wisdom throughout my life
(Akan selalu kukenang pengajaranmu dan kan kubawa kebijaksanaanmu sepanjang hidupku)

Mi wo tatte, na wo age, yayo, hageme yo
And I will always throw out my chest and keep my head held high
(Dan kan selalu kulapangkan dadaku, kutegakkan kepalaku)

Imakoso wakareme, iza, saraba.
Now is the time to say farewell with an eternally grateful heart.
(Dan kini tiba waktunya mengucapkan salam perpisahan dengan hati yang penuh terima kasih selamanya) 

Asayuu nareshini, manabi no mado

How hard I worked in the classroom from dawn to dusk with you
(Betapa kami telah berjuang bersamamu sejak pagi hingga petang)

Horaru no tomoshibi, tsumu shirayuki
The season when the fireflies sparkled andthe season when the snow piled high
(Sepanjang musim semi hingga musim dingin)

Wasururuma sonaki, yuku toshitsuki
And I will never forget the wonderful things I learned from you
(Dan tak kan kulupa hal-hal menakjubkan yang kupelajari darimu)

Imakoso wakareme, iza saraba.
Now is the time to say farewell with an eternally grateful heart. 
(Dan kini tiba saatnya mengucapkan salam perpisahan dengan hati penuh terima kasih selamanya)

Lagu di atas berjudul Aogeba Toutoshi. Lagu ini lazim dinyanyikan oleh siswa di Jepang pada hari kelulusan sebagai tanda terima kasih mereka pada guru yang telah membimbing mereka selama belajar di sekolah. Liriknya dalam, menyentuh sekali. Dan dorama berjudul sama yang baru saja selesai saya tonton pun beneran bikin saya yang kadang malih rupa jadi guru juga baper, mewek sampe bantal saya basah, alias Bahasa Jepangnya “kebes luh”. :D
Jadi, dorama Aogeba Toutoshi ini bercerita tentang seorang Hikuma Toichi (Akira Terao), mantan pemain saxofon profesional, yang terpanggil untuk mereparasi sebuah klub brass band di sebuah SMA bermasalah, Misaki Public School. Di sekolah inilah dia membentuk siswa yang semula banyak masalah menjadi anak-anak remaja yang sadar akan talentanya. Dan dalam bimbingannya mereka berjuang meraih predikat terbaik dalam kompetisi brass band nasional. Typially dorama bertema sejenis ini sih, endingnya rata-rata mirip, berjuang bersama, fight till the end, tapi in the end tetep pisah juga, dengan cara yang sangat bikin geregetan karena penonton kuciwa. Tapi tetep, namanya juga amanat, moral value, semangat sang guru tetap melekat dalam jiwa. Begitu rata-rata. Seperti dorama 35 sai no Kokousei yang dirilis tahun 2013, Dragon Sakura (2005), dan baaanyak lagi dorama bertema sekolah yang lain.
Ehm, soal amanat dalam lagu dan dorama Aogeba Toutoshi. Kalo dibandingkan dengan kondisi riil di Indonesia, kira-kira gimana ya? Chotto matte, Indonesia? Kelebaran kali ah. Saya bandingin sama kondisi di lingkungan terdekat kita saja lah. Ehem. Tarik nafas, hembuskan perlahan. Sama seperti dalam dorama Aogeba Toutoshi, Dragon Zakura, 35 sai no Kokousei, kondisi di sekolah-sekolah di dekat kita pun sebenarnya nggak jauh beda lah, ya. Chaos. Siswa yang jenuh karena gurunya juga jenuh dan kuno. Siswa merokok, tawuran, guru yang kewalahan dan menyalahkan, orang tua yang cuma nambahin masalah anak-anaknya di rumah. Seperti lingkaran setan. Sama-sama unwilling to do something to change. Apatis dan hobi saling menyalahkan. Masa iya, sih, separah itu? Eh? Masih nggak ngeh juga? *garuk pala pake sutil. Ada sih guru dan siswa yang penuh semangat 2016 untuk bergerak maju bersama meraih cita-cita , tapi gak banyak, sayang yah. Padahal, kalo sama-sama mau berubah, ya gurunya, ya siswanya, ya orang tuanya, dunia jauh lebih indah dari dorama loh. Etapi, alurnya gak semudah seperti dalam dorama sih, yang di episode satu banyak masalah, dan episode sepuluh udah kelar semua masalahnya (di Aogeba Toutoshi malah di episode 8 udah ending). Perlu pengorbanan suuupeeerrrr berat untuk mengubah mindset para emak di rumah biar pada stop nonton sinetron gaje saat jam belajar anak-anak. Nggak cukup cuma sosialisasi program 17-21 pake surat yang ditanda tangani dan distempel dinas pendidikan daerah. Juga para guru agar nggak cuma kejar predikat nilai mencapai dan melampaui KKM. Pun ini juga gak gampang. Butuh revolusi besar-besaran biar perusahaan-perusahaan nggak buka job vacancy nggak cuma berdasarkan ijazah, transkrip nilai, dan tes tulis whatava whatava ituh. Nyeri Buuuuu... Nyeriiiihhh... Berdarah-darah. Dan nggak bakal cukup cuma dibawa baper beberapa episode sambil baper juga karena gemes lihat Mackenyu yang dalam Aogeba Toutoshi kelihatan super duper unyu ngegemesin. Kemrakot. Draculi mode on.
Eh, sebentar... Ini tulisan tentang lagu, dorama, atau apa sih? Gaje amat? Hehehe. Whatava lah. Namanya juga ngoceh, harap maklum ya kalo gaje. :D
Eh lagi, serius nanya nih, itu Mackenyu emang ngegemesin, atau saya yang salah fokus ya? Ah, sudahlah...
Baidewei, jangan tanya ya, saya udah bertekad penuh semangat 2016 untuk berubah atau belum? Yang saya tahu, sih, saya selalu mencoba untuk menjadi dekat dengan mereka, para siswa, "to lit the light inside our heart, together". Because each of them are special and distinctive, so, let them be theri special selves, no matter what they are.
Jadi, secepat waktu yang berlalu, semoga kelak kita pun bisa berpisah dengan semua orang, with eternally grateful heart. ^_^ Imakoso wakareme, iza saraba.
Ano, lirik lagunya sudah ada terjemahannya Bahasa Inggris dari sini yak, lalu saya terjemahin lagi ke Bahasa Indonesia, mohon maaf kalo ada salah kata yak. ^_^

Sabtu, 16 April 2016

Tentang Bapak, yang Insyaallah Akan Bertemu Emak di Surga Allah

Jam sebelas malam, adik ipar mendekati saya yang sedang menidurkan si sulung, dia bertanya: "Mbak, kalau Bapak meninggal, apakah beliau akan bertemu Emak di alam barzah?"
That's a hard question for me. Seorang yang pemahaman agamanya sangat cetek macam saya hanya bisa menahan nafas dan memikirkan "Iya, ya, kelak jika kita meninggal dan masuk liang lahat, kemudiam bersemayam di ruang tunggu menuju akhirat a.k.a Alam Barzah, kita ngapain, ya? Apakah kita akan menanti dengan damai dalam ruangan full AC seperti kata meme yang sering diunggah oleh para 'netisengzen' itu? Ataukah kita akan ketakutan karena diperlihatkan lubang neraka pada kita? Ataukah kita akan bahagia karena diperlihatkan pemandangan surga yang tiada tara indahnya? Bisakah kita bertemu keluarga, teman, dan tetangga yang juga telah meninggal?" Wallahu a'lam bisshawab... Hanya Allah yang mengetahui sebenar rahasia alam ghaib.
Allah sendiri berfirman dalam Kitabullah Alquranul Karim:
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, ia berkata, ”Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding (barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminûn: 99-100).
Mau ngapain kita dan bagaimana keadaan kita di alam barzah, tergantung amal perbuatan kita semasa hidup di dunia. Astaghfirullahal azhim... 
Nabi bersabda, “Kuburan dapat merupakan taman dari taman-taman surga atau jurang dari jurangnya neraka” (H.R. Turmudzi).
Ya Allah... Ampunilah dosa-dosa kami. Teguhkan iman Islam kami. Karuniakan kami taubat sebelum Engkau memanggil kami. Rahmati kami dalam kematian kami. Ampuni kami setelah kematian kami. Mudahkan sakaratul maut kami. Jauhkan kami dari api neraka. Aamiiin... Yaa Rabbal Aalamiin...
Bapak orang baik. Hidupnya diabdikan untuk dakwah dan maslahat. Emak pun begitu. Insyaallah kelak Bapak akan bertemu Emak di surga Allah... 

Kamis, 25 Februari 2016

Surga di Telapak Kaki Ibu Mertua



Lagi rame di facebook soal meme mertua dan menantu. Gambar-gambar kartun yang menurut sebagian orang menggambarkan hubungan mertua dan menantu, dan membandingkannya dengan hubungan anak perempuan dengan ibu kandung mereka. Miris memang, padahal kalau dipikir baik-baik, tidak akan ada suami kita kalau nggak ada mertua. Betul kan? Kecuali kalo suaminya dilahirin sama batu yang merekah alias meletek seko watu. Hahaha
Parahnya lagi, caption yang ditulis di atas post meme itu loh, yang bikin geleng-geleng kepala. Segitunya ya, bencinya sama mertua, sampai membandingkan ibu mertua dengan ibu kandung. Emang beda, ya? Ya, beda lah... Tapi kan nggak perlu gitu banget dong, ah... Kan, ibu mertua adalah ibu dari suami kita, belahan jiwa kita. Kalau nggak ada beliau ya nggak mungkin ada suami. Jadi ya kalau sudah menyatu dengan suami, ibu mertua ya sama saja dengan ibu kita sendiri. Sama saja bobot restu dan kutuknya. Kalau ketahuan posting meme seperti itu, apa nggak takut dikutuk jadi Syahrini? Hihihi ^_^
salah satu meme mertua dan ibu kandung yang jadi viral

Yah… Tak bisa dipungkiri, memang, banyak sekali kisah abu-abu bahkan hitam dalam hubungan mertua vs menantu. Sampai ada yang beristilah “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih ibu mertua sepanjang kita nurut,” duhhh.... Ga bisa dibiarkan ah... Padahal mestinya, ikut istilah lain: “Ibumu, Ibuku. Ibuku, Ibumu.” Bukankah memang menikah itu tak hanya menyatukan dua hati, tapi dua keluarga. Jadi mestinya nggak Cuma sayang suami, tapi juga sayang mertua.
Dalam konflik mertua vs menantu perempuan, pada dasarnya kedua belah pihak memperjuangkan hati yang sama, yakni hati sang anak lelaki yang menjadi suami orang yang baru dikenal sang ibu. Kedua belah pihak sama-sama memiliki idealisme sendiri-sendiri yang juga diperjuangkan untuk bisa diterima oleh pihak yang lain. Kedua belah pihak sama-sama takut cintanya “direbut” oleh pihak yang lain, sang ibu takut dilupakan, sang istri takut dinomor duakan. Di sinilah kemudian battle of conquering terjadi, peperangan untuk saling menaklukkan. Kadang menggunakan cara-cara yang ekstrim dan beradu kelicikan. Naudzubillahi min dzalik.
Sebenarnya sih, bila ada usaha untuk saling memahami dan memaklumi dari kedua belah pihak, konflik bisa diminimalisir. Sumber konflik tak bisa dibebankan pada salah satu pihak saja kan? Benar bahwa seringkali kita, para menantu mengklaim diri kita sudah bersikap semestinya dan sebenarnya. Masalahnya adalah, benar menurut siapa? Yang sudah benar buat kita belum tentu tepat buat ibu mertua. Karena orang punya standar berbeda-beda kaaaannn? Setiap ibu menginginkan anak lelakinya diperlakukan sama seperti ia memperlakukan anak lelakinya. Alhasil, banyak ibu mertua menyalahkan cara menantu perempuan memperlakukan anak lelakinya. Sama dengan konflik antara ayah mertua-menantu lelaki. Bedanya, lelaki lebih mudah memaklumi dari perempuan. Dan lagi, tingkat “kenyinyiran” lelaki sangat rendah, jadi konflik lebih mudah dihindari.
Saya sih, ngenger sama mertua agak lama. Sudah seperti orang tua sendiri (ya memang sudah jadi orang tua sendiri. Hihihi). Awalnya, tentu harus banyak adaptasi, kan katanya, salah satu ciri makhluk hidup itu, bisa beradaptasi dengan lingkungan. Jadi kalau tidak bisa beradaptasi dengan keluarga mertua, perlu diragukan ke-makhluk hidup-annya. Hehehe. (Disambit keyboard).
Banyak hal yang berbeda dari saya dan mertua, beberapa hal tentang prinsip pun berbeda, walaupun agama kami sama. Namun, dari hasil belajar sana-sini, saya jadi tahu jurus-jurus jitu mengambil hati mertua. (Beuh… Sotoy kambuhan). Berikut ini beberapa jurus ajian pengasihan yang saya kompilasikan dari berbagai sumber dan bisa kita terapkan untuk jadi menantu manis dan baik budi.  ^_^

1.       Pelajari Karakter
Mempelajari karakter untuk “menaklukkan” hati mertua sangatlah penting. Ketika menikah dan harus tinggal satu rumah dengan mertua, jangan pernah bosan untuk terus belajar memahami karakter mertua, agar kita, para menantu, lebih mudah menempatkan diri didalam keluarga mereka. Kenali apa yang mereka sukai dan tidak mereka sukai. Asal tidak melanggar syariat dan masih dalam batas kewajaran, tak ada salahnya kita menyesuaikan diri untuk tidak melakukan apa yang mereka tidak suka.
Dan bila ternyata hal itu melanggar syariat dan berada di luar kewajaran, misalnya mertua suka pergi ke dukun, atau mertua kita terlalu jorok dan hobi membuang sampah sembarangan. Berikan pemahaman dengan halus dan pada momen-momen yang tepat agar tidak menyinggung perasaan mereka. Karena bagaimanapun, mereka adalah orang tua kita yang satu kata “ah” saja keluar dari bibir kita, atau setitik luka kita goreskan dalam hati mereka, akan menjadi dosa bagi kita. Apalagi kalau sampai mereka mengutuk kita, bisa runuh dunia di atas kepala kita.

2.       Curi Hati Mertua dan Suami
Yang kedua, pandai-pandailah mencuri hati mertua dan suami dalam waktu bersamaan. Hadiah-hadiah dan kejutan-kejutan kecil namun berkesan, tentu akan menjadi hal yang turut mempermanis hubungan dalam suatu keluarga. Hadiah tak perlu berupa barang. Bisa terwujud lewat masakan yang mereka sukai, atau bahkan hanya dengan merombak desain interior rumah sesuai dengan selera mereka. Dan kejutan tak perlu menunggu momen spesial. Segala kesempatan bisa disulap menjadi spesial, asalkan waktu dan tempatnya tepat. Jangan sampai timpang memberi apa yang suami suka namun melupakan apa yang mertua suka, atau sebaliknya. Karena keduanya sama-sama penting. Suami adalah belahan jiwa, sedangkan mertua adalah pengukir belahan jiwa kita. Ibarat kita menyayangi sebuah boneka, maka tak boleh melupakan sang pemberi boneka tersebut. Keduanya harus sama-sama dieman, disayangi, dan dimuliakan.

3.       “Jodohkan” Orang Tua dan Mertua
Konflik lain yang rentan terjadi adalah antara mertua dan kedua orang tua sang menantu. Perbedaan latar belakang pendidikan, ekonomi, agama, budaya, sering kali memperburuk hubungan antara mertua dengan menantu. Maka, tak kalah pentingnya menyulap diri kita sebagai menantu menjadi sebuah “jembatan penghubung” antara kedua orang tua dan mertua. Karena seperti yang telah disebutkan di atas, pernikahan bukan hanya perjodohan dua hati, melainkan dua keluarga. Pandai-pandailah menyatukan perbedaan dan memberikan pemahaman kepada orang tua kita untuk menghargai perbedaan mertua dengan mereka, dengan bahasa yang tidak menyinggung, tentunya. Dan, bagaimana bila tak bisa? Bila kedua orang tua dan mertua sama-sama bersikukuh, maka kembali lagi menjadi tugas kita sebagai anak dan menantu untuk menjadi “jembatan penghubung” dua latar belakang yang berbeda agar mereka juga “berjodoh”, bukan hanya kita dan suami saja.

4.       Luaskan Kemakluman
Sebagai anak, satu hal yang perlu kita lakukan untuk meminimalisir konflik adalah melapangkan dada dan meluaskan kemakluman kita terhadap mertua. Terkadang, ada hal-hal tertentu yang menjadi kebiasaan mertua yang tak sesuai dengan harapan kita. Di sinilah perlunya kita melapangkan dada dan meluaskan kemakluman terhadap mereka. Kembali lagi, tentunya, selama hal-hal tersebut tidak melanggar syariat. Dan bila ternyata bertentangan dengan syariat? Tenang, wahai para menantu. Segala sesuatu butuh proses. Bahkan Rasulullah pun membutuhkan waktu 23 tahun untuk menuntaskan dakwah dan menyempurnakan Islam pada masanya. Maka bersabarlah, lapangkan dada dan luaskan kemakluman kita pada mereka. Insyaallah, semua akan lebih mudah teratasi.

5.       Berdoa dan Teruslah Berusaha
Yang terakhir, jangan lupa, berdoa dan teruslah berusaha untuk mencuri hati mertua. Jadikan mereka subyek dari doa-doa khusus kita di sepertiga malam terakhir, dan jangan pernah lelah berusaha untuk “menaklukkan” hati mereka. Insyaallah, dengan ridha Allah maka “Vini, Vidi, Vici”. Semoga sukses menaklukkan hati para mertua dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah dan dakwah. 
Nah, selamat berjuang, ya, para menantu. Semoga surga menjadi milikmu. Saya juga terus berusaha jadi lebih baik. Karena ibu sudah tidak ada, maka cadangan kunci surga saya sekarang dipegang ibu mertua. ^_^